Selamat Datang di sakalamento Selamat Datang di sakalamento Selamat Datang di sakalamento

Dunia Maya Pilar Kelima Demokrasi

12:39 PM Posted In 0 Comments »
SANDIWARA politik antara Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) telah membawa implikasi serius terhadap integritas dan kredibilitas wakil rakyat tersebut. Masyarakat tidak bisa lagi mengharapkan DPR untuk memperjuangkan suaranya. DPR harus membayar mahal ongkos politik, yaitu hilangnya kepercayaan masyarakat. Sebenarnya ini bukanlah hal yang baru, beberapa kasus telah menunjukkan hilangnya integritas dan kredibilitas DPR. Lihat saja ulah beberapa anggota DPR yang menerima suap, yang akhirnya berhasil ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian kasus hilangnya ayat tembakau di dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan. Jadi kalau faktanya seperti itu, apa yang bisa diharapkan dari DPR?

Sebenarnya di dalam demokrasi terdapat empat pilar, yaitu pemerintah (eksekutif), DPR (legislatif), pengadilan (yudikatif), dan terakhir media. Media merupakan pilar yang terakhir yang mempunyai fungsi kontrol sosial. Keempat pilar tersebut masing-masing mempunyai posisi yang independen dan tidak boleh saling mengintervensi. Hal ini bertujuan menciptakan kondisi check and balances. Demokrasi tidak akan berjalan dengan baik ketika salah satu atau beberapa pilar demokrasi diintervensi oleh pilar yang lainnya. Atau ketika pemerintah mengintervensi DPR, pengadilan, dan media, jelaslah demokrasi akan mati. Matinya demokrasi bukanlah sesuatu yang kita harapkan karena umur demokrasi di negara kita baru sewindu. Demokrasi hanyalah satu-satunya sistem politik yang telah teruji beratus-ratus tahun lamanya. Demokrasi juga memberikan kesempatan kepada semua orang tanpa diskriminasi untuk berpartisipasi dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan tata pemerintahan dan kenegaraan.

Demokrasi akan mati ketika kondisi check and balances sudah tidak ada lagi. Dalam kasus sandiwara politik antara Komisi III DPR dan Kapolri menunjukkan sudah tidak ada lagi check and balances karena Komisi III DPR lebih berpihak kepada polisi dan pemerintah, serta meninggalkan suara konstituennya. Di dalam kondisi ini, sudah jelas pilar pertama dan kedua demokrasi, yaitu pemerintah dan DPR, sudah menyatu. Jika kondisi itu tetap dipertahankan, akan membahayakan eksistensi demokrasi itu sendiri. Pemerintahan otoriterlah yang akan muncul. Kemudian, harapan tinggal pada pilar ketiga dan keempat, yaitu pengadilan dan media. Tetapi, kondisi pengadilan sekarang ini sedang terjangkit penyakit korupsi peradilan, kecuali Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga kontribusinya dalam menjalankan roda demokrasi sukar diharapkan. Harapan terakhir ada pada media, yang relatif bekerja dalam fungsi kontrol sosialnya. Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi betul-betul telah dimanfaatkan secara baik oleh media. Walaupun terdapat dominasi pemilik modal di dalam menentukan kebijakan media tersebut, media tidak melupakan fungsi kontrol sosialnya.

Di sisi lain, muncul dunia maya sejalan dengan perkembangan teknologi nirkabel yang begitu pesat pasca munculnya jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Masyarakat benar-benar telah memanfaatkan dunia maya secara efektif untuk mengekspresikan pendapatnya atau untuk memperluas jaringannya. Di dalam suatu masyarakat terbuka, Karl Popper (1992) menggambarkan arus informasi akan menjadi kata kunci di dalam menentukan peradaban manusia. Manusia yang beradab adalah manusia yang mengikuti perkembangan informasi dan mampu mengelola informasi secara baik. Manusia yang tidak mampu mengikuti perkembangan informasi dan mengelola informasi secara baik akan digilas perkembangan zaman. Jejaring sosial di dunia maya merupakan jawaban atas pertanyaan bagaimana mengikuti dan mengelola informasi di dalam suatu masyarakat terbuka.

Pilar kelima demokrasi
Jejaring sosial di dunia maya memberikan kontribusi besar untuk pembentukan opini di dalam kasus perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Khususnya ketika Usman Yasin membuat grup di Facebook guna menggalang dukungan untuk Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dan telah berhasil menembus 1 juta Facebookers. Ketika pemerintah dan DPR bersatu untuk membela Polri, jejaring sosial di dalam dunia merupakan wahana alternatif untuk menampung aspirasi masyarakat. Di dalam dunia maya, pendapat masyarakat tidak bisa dibendung atau disensor, seperti gelombang tsunami yang menghantam daratan pascagempa bumi. Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei), 1 juta suara masyarakat di dalam grup Facebook tersebut tidak boleh dianggap remeh oleh pemerintah dan DPR.

Masyarakat sekarang sudah menyadari DPR tidak bisa diharapkan lagi memperjuangkan suara mereka karena DPR telah mengalami rabun sosial dan autisme sosial. DPR sibuk dengan urusannya sendiri dan melupakan suara konstituennya. Atau dengan kata lain DPR sedang melakukan politik kartel, yaitu partai-partai politik (parpol) secara kolektif mengabaikan komitmen ideologi atau programatis mereka demi kelangsungan hidup mereka sebagai suatu kelompok (Kuskrido Ambardi, 2009:353). Masyarakat juga sudah memahami perilaku DPR yang sedang menjalankan politik kartel demi mengamankan sumber dan akses kekuasaannya.

Menurut Juergen Habermas (2009), di dalam suatu negara hukum yang demokratis, legitimasi demokratis terletak pada kualitas wacana. Jadi pada masa masyarakat terbuka seperti sekarang ini, legitimasi demokrasi tidak hanya ditentukan oleh pemerintah, DPR, dan pengadilan. Peran media dan jejaring sosial di dunia maya dalam membentuk kualitas wacana juga merupakan kunci legitimasi demokrasi. Artinya, legitimasi demokrasi ada pada media dan jejaring sosial di media ketika mereka mewacanakan sesuatu yang bisa diuniversalkan dan diterima oleh masyarakat.

Jejaring sosial di dunia maya merupakan pilar kelima di dalam demokrasi yang secara efektif tidak hanya untuk membentuk opini publik, tetapi juga menentukan partisipasi masyarakat dalam menentukan arah pemerintahan dan tata kenegaraan. Jejaring sosial di dunia maya, Mahkamah Konstitusi (MK) dan media akan saling bergantian menjalankan roda demokrasi, ketika pemerintah, DPR dan pengadilan konvensional mengalami kelumpuhan.
mediaindonesia.com
read more

Urgensi Reformasi Polisi

12:27 PM Posted In 0 Comments »
DIPERDENGARKANNYA rekaman terkait dengan kasus Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah (pimpinan KPK) di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu semakin membuktikan dugaan masyarakat bahwa sistem hukum di Indonesia sangat 'amburadul', mulai mafia peradilan, suap, pemerasan, hingga rekayasa perkara. Sebagaimana dirasakan Bibit dan Chandra. Kejadian itu merupakan puncak es yang sebenarnya lebih banyak dirasakan oleh rakyat jelata. Karena itu, reformasi polisi menjadi sangat penting dan mendesak dilakukan oleh SBY dalam seratus hari ke depan. Political will SBY harus segera ditunjukkan dengan memberhentikan dan mengganti jajaran pimpinan kepolisian dan kejaksaan.

Memang, salah satu unsur penyelenggara pemerintahan yang belum sesuai dengan kaidah demokrasi adalah kepolisian. Fungsi kepolisian pada hakikatnya adalah untuk menjamin tegaknya nilai-nilai demokrasi, yakni rule of law. Itu karena fungsi kepolisian merupakan salah satu urusan pemerintahan dalam menegakkan hukum dan menciptakan ketenteraman serta ketertiban (law and order). Karena sifat tugasnya, polisi harus dekat dengan masyarakat, sebagaimana semboyan polisi 'mengayomi dan melindungi masyarakat'. Polisi harus responsif terhadap laporan dan keluhan masyarakat.

Struktur yang mengganggu peran dan fungsi polisi selama ini antara lain sentralisasi polisi dan penyalahgunaan kekuatan polisi (abusing the police power) untuk kepentingan politik. Struktur ini telah mengakibatkan rendahnya kapasitas polisi dalam merespons masalah-masalah yang ada pada masyarakat dan keterbatasan kewenangan polisi yang berada di daerah. Contoh kasus Kapolda Jawa Timur dalam menangani tindak pidana pilkada Gubernur Jawa Timur, beberapa waktu lalu, merupakan contoh kentalnya sentralisasi polisi. Sementara itu, kasus Bibit-Chandra merupakan bentuk abusing the power.

Sentralisasi polisi juga telah mengakibatkan membengkaknya organisasi polisi. Akibatnya kepangkatan dalam polisi pun harus berjenjang dari pos polisi sampai dengan markas besar polisi di Jakarta. Keadaan itu sungguh tidak efisien. Panjangnya hierarki mengakibatkan dibutuhkannya pangkat jenderal polisi. Di beberapa negara di dunia tidak dikenal pangkat jenderal polisi. Pangkat tertinggi polisi di negara lain hanyalah komisaris polisi. Dengan desentralisasi polisi, pangkat jenderal polisi tidak diperlukan lagi.

Sentralisasi polisi dari sisi lainnya juga akan sangat membahayakan kehidupan bangsa, struktur yang sentralistis dan berada pada langsung di bawah presiden akan sangat rentan atas penyalahgunaan kewenangan polisi (abusing the power) untuk kepentingan pribadi presiden. Adanya Komisi Kepolisian Nasional yang tercantum dalam Pasal 37 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak akan bisa mencegah penyalahgunaan itu karena komisi itu hanya memberikan masukan perihal anggaran, sumber daya manusia, sarana, prasarana, dan perilaku polisi yang dilaporkan oleh masyarakat. Komisi Kepolisian Nasional itu tidak berwenang untuk memberikan masukan atas penyalahgunaan kekuatan polisi oleh pihak lain.

Selain itu, terdapat tugas-tugas administratif yang menyangkut kepentingan penduduk yang seharusnya tidak lagi ditangani kepolisian, seperti penerbitan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB), surat tanda nomor kendaraan bermotor (STNK), dan surat izin mengemudi (SIM). Pekerjaan tersebut merupakan urusan administrasi yang seharusnya dikerjakan instansi lain, bukan polisi. Di negara lain urusan kendaraan bermotor ditangani oleh Departemen Transportasi, atau di Indonesia semacam Departemen Perhubungan atau Dinas Perhubungan yang berada pada pemerintah daerah. Tugas polisi adalah menangkap pengemudi yang mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak membawa STNK dan SIM karena tindakan itu melanggar hukum.

Tidak dimungkiri bahwa upaya reformasi tentang polisi memang ada yang sudah pada jalur yang benar, misalnya, pemisahan Polri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) sehingga paradigma yang berlaku pada polisi bukan lagi militer. Itu karena doktrin militer kill or to be killed tidak tepat diterapkan pada polisi. Hal ini disebabkan karena tugas polisi bersifat 'mengayomi masyarakat', bukan menyerang atau mempertahankan negara dari serangan musuh dari luar. Hasil didikan Akabri pada zaman Orde Baru telah menciptakan perwira polisi yang sangat menghayati doktrin militer tersebut sehingga polisi dengan mudah membunuh tersangka dengan berbagai alasan. Polisi selaku pengawal demokrasi harus sangat menjunjung hak asasi manusia. Senjata yang dipegang polisi hanyalah sebagai alat untuk mempertahankan diri dan melumpuhkan, bukan untuk membunuh.

Berbagai masalah yang belakangan ini menimpa polisi menyadarkan kita bahwa reformasi atau memformat ulang peran, fungsi, dan kedudukan polisi merupakan upaya yang harus segera dilakukan. Pilihan yang terbaik untuk organisasi polisi adalah desentralisasi polisi. Dengan demikian, pada setiap tingkatan pemerintahan, nasional, provinsi, dan kabupaten atau kota, terdapat polisi yang berfungsi sesuai dengan lingkup cakupan kewenangannya. Di pusat ada polisi nasional yang bertugas untuk menciptakan ketenteraman dan ketertiban nasional, serta menegakkan hukum yang memiliki yurisprudensi nasional. Di Amerika Serikat polisi semacam ini dinamai FBI (Federal Bureau for Investigation). Tugas polisi nasional ini adalah menangani pelanggaran hukum yang akan mengganggu keamanan dan ketertiban secara nasional.

Sementara itu, di tingkat provinsi dapat dibentuk polisi provinsi yang bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta penegakan hukum lintas kota dan kabupaten. Untuk mempermudah mobilisasi, satuan Brigade Mobil (Brimob) bisa ditempatkan di markas polisi provinsi ini, semacam State Trooper di Amerika Serikat. Adapun polisi yang berada di kabupaten atau kota adalah polisi lokal, yang bertanggung jawab penuh kepada kepala daerah masing-masing, dan bertugas untuk menciptakan ketenteraman dan ketertiban serta penegakan hukum di tingkat lokal

Selain desentralisasi polisi, upaya reformasi polisi juga harus dibarengi dengan upaya reward and punishment. Artinya kesejahteraan, terutama sistem penggajian polisi, perlu diperbaiki agar mereka terbebas dari persoalan kekurangan pendapatan. Kemudian dibarengi pula dengan penegakan disiplin yang ketat, bagi polisi yang bersalah harus segera diproses dan dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya.

Dengan desentralisasi polisi dan upaya penerapan reward and punishment, diharapkan akan dihasilkan polisi yang berfungsi untuk mengawal demokrasi, sekaligus menciptakan suasana yang aman dan tertib, dan terhindar dari penyalahgunaan police power oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Dengan desentralisasi polisi, hierarki yang militeristis akan dapat dihilangkan. Untuk itu, kita harus segara merevisi peraturan perundangan yang terkait dengan kepolisian. Dengan reformasi polisi, peran, fungsi, dan kedudukan polisi akan sesuai dengan kaidah demokrasi yang sedang kita bangun dan citra polisi sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat dapat segera pulih kembali.
mediaindonesia.com
read more
Bookmark and Share
KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA