Selamat Datang di sakalamento Selamat Datang di sakalamento Selamat Datang di sakalamento

Dibalik Tradisi Slametan dan Tahlil

11:15 PM Posted In 0 Comments »
Salah satu tradisi yang sudah mengakar kuat ribuan tahun lamanya di Indonesia, terutama di Tanah Jawah, adalah tradisi “slametan” bagi orang yang sudah meninggal dunia. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, slametan identik dengan sesajen yang di persembahkan untuk roh-roh halus. Setelah Islam masuk ke bumi Nusantara, para penyebar Islam berupaya menyisipkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Mereka berusaha merubah tradisi slametan bukan lagi sebagai persembahan untuk makhluk halus, melainkan sebagai sedekah yang tidak hanya merekatkan hubungan antara masyarakat, akan tetapi juga melatih kepedulian sosial.
Pada masa itu, dikenal tradisi peringatan tujuh hari (mitung dinani), empat puluh hari (matang puluh), seratus hari (nyatus dinani), dan seribu hari (nyewu dinani), terhitung sejak hari wafatnya si mati. Budaya ini diwarisi secara turun temurun hingga sekarang, yakni ketika mayoritas rakyat Indonesia sudah memeluk agama Islam.

Telaah Historis

KH. Muchith Muzadi, tokoh karismatik NU yang juga alumni Tebuireng, dalam pengantar bukunya mengatakan, sebenarnya tradisi slametan merupakan kreasi ijtihad para ulama dalam mencari strategi dakwah yang efektif. Menurut kakak kandung KH. Hasyim Muzadi ini, sejak Islam pertama kali hadir di Indonesia, saat ada orang meninggal dunia bisanya para tetangga dan kerabat berkumpul untuk menyampaikan rasa duka cita. Tapi kemudian, pada malam harinya mereka main kartu, mabuk-mabukan, dan lain-lain. Budaya seperti ini membuat prihatin para ulama, sehingga sedikit demi sedikit mereka berupaya merubahnya. Mereka memasukkan budaya-budaya Islami ke dalam tradisi warisan Hindu ini, seperti membaca al-Qur’an, tahlil, tahmid, tasbih, yang hingga kini dikenal dengan istilah “tahlilan”.
Setelah tahlilan, tuan rumah biasanya menyajikan makanan dan minuman ala kadarnya, bahkan tak jarang ditambah dengan bungkusan “berkat” untuk dibawa pulang. Semua itu dilakukan sebagai sedekah yang pahalanya dihadiahkan kepada si mayit.
Dari sini dapat kita pahami, bahwa tradisi slametan pada masa sekarang sudah berbeda jauh dengan slametan pada zaman dahulu.

Telaah Hukum

Walaupun kini sudah “Islami”, akan tetapi sebagian umat Islam masih menolak tradisi tahlil. Mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang haram. Sebab:

1. Tradisi tahlilan tidak pernah disyariatkat oleh Allah dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya.
2. Tradisi ini merupakan transfer pahala dari orang yang masih hidup kepada yang sudah mati, dan itu bertentangan dengan ajaran Islam.
3. Tradisi ini akan membuat orang mudah berbuat dosa, karena dia berkeyakinan bahwa dosanya bisa ditebus dengan tahlilan dan dzikir fida’. Hal itu mudah dilakukan oleh orang-orang kaya.
4. Tradisi ini merupakan tindak pemborosan, karena memberikan sedekah kepada orang-orang yang tidak membutuhkan (bukan fakir miskin).
Pendapat ini seirama dengan pandangan Ibnu Hajar al-Haitami. Dalam al-Fatawi al-Kubra, Ibnu Hajar berpendapat bahwa peringatan hari ketiga, ketujuh, dan lain-lain yang telah membudaya di masyarakat, termasuk bid’ah madzmumah (bid’ah tercela), akan tetapi tidak diharamkan, selama bukan untuk meratapi kematian si mayit.
Sementara kalangan yang mendukung tradisi tahlilan menilai, bahwa tradisi ini sama saja dengan ajaran membacakan ayat suci al-Qur’an untuk orang mati, dimana hal itu merupakan anjuran Islam. Selain itu, tradisi tahlilan juga mengandung sisi positif, antara lain:

1. Menumbuhkan semangat dakwah dan kebersamaan, serta menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan cara berdzikir bersama mendoakan si mayit.
2. Untuk mengingatkan kita bahwa akhir kehidupan adalah kematian.
3. Untuk menanamkan jiwa kepedulian sosial terhadap sesama, walaupun hanya dengan cara mendoakan si mati. Dan telah kita maklumi, salah satu upaya menebus kesalahan kepada orang lain (terutama yang telah wafat) adalah dengan mendoakannya.

Konklusi

Jika diteliti lebih jauh, tradisi tahlilan sebenarnya tidak didasarkan pada dalil khusus yang menganjurkan maupun melarangnya. Dalam al-Qur’an dan hadits tidak ada dalil yang memerintahkan maupun melarang umat Islam me-nahlili kerabatnya yang sudah meninggal. Akan tetapi, karena esensi tahlil adalah untuk menumbuhkan semangat dakwah, membangun kebersamaan, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Melalui dzikir, doa, dan lain-lain, serta untuk mendoakan si mati dan mengingatkan kepada kematian, maka tradisi tahlilan sebenarnya mempunyai nilai positif. Yang perlu di ingat, jangan sampai tahlilan itu memberatkan keluarga si mati, karena Islam justru menganjurkan umatnya untuk meringankan beban mereka. Disamping itu, pihak keluarga jangan beranggapan bahwa tahlil adalah kewajiban syariat.
Syaikh al-Nawawi al-Bantani dalam Nihayat al-Zain menyatakan, bersedekah untuk si mati sangat dianjurkan, dengan catatan tidak bertentangan dengan aturan syariat. Akan tetapi, anjuran itu tidak khusus hanya pada hari ketujuh, keempat puluh, keseratus, dll. Bersedekah pada hari-hari yang lain juga boleh.
Jika tujuan tahlil adalah untuk bersedekah dan berdoa bagi si mati, maka ritual ini tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Hal ini diperkuat dengan hadits Nabi riwayat Abu Dawud: “Bacalah Surat Yaasin pada orang yang mati di antara kalian”. Muhammad Ibn Ahmad al-Maruzi mendengar Ahmad bin Hanbal berkata, “Ketika kalian memasuki area kuburan, maka bacalah surat al-Fatihah, al-Ikhlas, dan al-Mu’awidatain (al-Falaq dan al-Nas). Dan jadikanlah pahala bacaan itu untuk penghuni kubur, maka pahala tersebut akan sampai kepadanya”. Nah, bacaan-bacaan tersebut sebenarnya merupakan esensi dari tahlil itu sendiri.

Dinukil dari Majalah Tebuireng Edisi 1/Tahun I/Juli-September 2007.

0 komentar:

Bookmark and Share
KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA