Selamat Datang di sakalamento Selamat Datang di sakalamento Selamat Datang di sakalamento

Pembumian Keadilan Substantif

9:21 AM Posted In 0 Comments »
Pembumian Keadilan Substantif
Oleh: Abd A'la

Hingga saat ini, hukum dan proses hukum yang berkembang di Indonesia belum menyentuh rasa keadilan yang sebenarnya. Keadilan masih jauh dari jangkauan masyarakat umum. Kasus penempatan Ayin (Artalyta Suryani) di ruang khusus yang cukup mewah di Rutan Pondok Bambu beberapa waktu lalu dan kelambanan penanganan kasus Anggodo merupakan secuil dari wajah buram penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Belum lagi pemutarbalikan fakta pada kasus Prita yang dianggap memfitnah Rumah Sakit Omni International.

Semua itu terjadi karena penegakan hukum yang berjalan selama ini terkesan kuat masih berkutat dalam bentuk keadilan prosedural yang sangat menekankan pada aspek regularitas dan penerapan formal legal semata. Sejalan dengan itu rekayasa hukum menjadi aroma yang cukup kuat dalam hampir setiap penegakan hukum di negeri ini. Keadilan substantif sebagai sumber keadilan prosedural masih bersifat konsep parsial dan belum menjangkau seutuhnya ide-ide dan realitas yang seharusnya menjadi bagian intrinsik dari konsep dan penegakan keadilan.

Akibatnya, penegakan hukum menjadi kurang atau bahkan tidak mampu menyelesaikan inti persoalan sebenarnya. Suara orang atau masyarakat yang tertindas sebagai subjek yang sangat memerlukan keadilan nyaris terabaikan sama sekali. Orang yang selama ini mengalami ketidakadilan, atau bahkan masyarakat secara keseluruhan kian jauh dari sentuhan dan rasa keadilan hakiki.

Bahkan, sering terjadi, atas nama keadilan, orang dan masyarakat pencari keadilan menjadi korban penegakan hukum formal. Realitas ini menjadikan penegakan keadilan berwajah ambivalen yang terkelupas dari nilai-nilai keadilan hakiki dan terkadang justru menyodok rasa keadilan itu sendiri.

Teologi Keadilan

Kelemahan penegakan keadilan meniscayakan rekonstruksi dan pembumian keadilan dengan dasar-dasar etika-moral yang kukuh dan pemaknaan yang holistik. Rekonstruksi ini menjadi kondisi yang tidak terelakkan. Etika moral yang harus dikembangkan adalah moralitas transformatif yang dapat menyantuni masyarakat lemah dan tertindas, terutama dari sisi hukum.

Pada aras keindonesiaan, yang agama memainkan peran penting dalam pembentukan sikap dan perilaku masyarakat, nilai-nilai dan ajaran agama yang bersifat substantif, perenial dan universal mutlak dikembangkan sebagai pijakan rekonstruksi. Apalagi, pada dasarnya agama hadir untuk menghilangkan ketertindasan dan keterkorbanan.

Sebagai misal, ajaran Islam tentang monoteisme memberi arti bahwa semua manusia adalah setara. Karena itu, manusia -siapa pun dan apa pun jabatannya- harus dipandang dan diperlakukan sama. Keadilan dan kesetaraan perlu dijadikan tolok ukur utama dalam setiap komunikasi dan interaksi antara manusia yang satu dengan manusia lain. Keadilan adalah bagian dari monoteisme sehingga siapa pun yang membiaskan keadilan -sampai batas tertentu- bukan termasuk kaum beriman.

Nilai dan ajaran teologis substantif semacam itu perlu dikembangkan menjadi salah satu dasar utama pengembangan konsep dan penegakan hukum di bumi pertiwi ini. Nilai-nilai substantif keadilan ini perlu dimaknai secara sistematis, holistik, dan aplikatif. Keadilan teologis tersebut perlu disandingkan dengan nilai ajaran lain, semisal kebenaran, ketulusan, dan kejujuran. Dengan demikian, holistisitas pemaknaan keadilan dari berbagai sisinya dapat dicapai dan sekaligus dipertanggungjawabkan secara teologis, legal, dan kemanusiaan.

Pada agama-agama yang lain, nilai-nilai semacam itu juga perlu dirumuskan secara substantif dan transformatif. Dengan demikian, ketika dibawa ke ruang publik, nilai dan ajaran tersebut menampakkan universalitas yang sama-sama bervisi humanisme religius.

Ketegasan Pemerintah

Integrasi dan pembumian teologi keadilan ke dalam penegakan hukum sangat urgen untuk diagendakan. Jika tidak, keadilan hanya akan menjadi wacana semata dan tetap berada dalam langit angan-angan. Dalam kondisi ini masyarakat akan tetap dan selalu menjadi objek kekuasaan dan kepentingan. Hukum hanya milik orang-orang yang berduit, petinggi negara, dan sejenisnya.

Untuk menuju pencapaian itu, pemerintah niscaya memiliki komitmen kuat untuk pembumian keadilan substantif. Komitmen ini perlu segera diejawantahkan dalam realitas kehidupan bangsa. Di antaranya melalui upaya konkret melepaskan penegakan hukum dari kepentingan di luar kepentingan hukum dan keadilan. Nuansa politik kekuasaan dan sejenisnya yang sering mengintervensi penegakan hukum tidak bisa lagi ditoleransi. Biarkan hukum yang telah dilandasi moral teologis universal menyelesaikan persoalan sendiri.

Melalui komitmen itu pula, pemerintah hendaknya mau turun ke bawah, mau mendengarkan suara-suara mereka yang terkorbankan atas nama hukum. Betapa banyak dari mereka yang dizalimi para aparat dan penegak hukum. Pemerintah perlu menyadari bahwa sebagian mereka berada dalam sekat kebisuan yang berdinding tebal. Pemerintah perlu menguak sekat-sekat itu secara arif, dan dengan segala daya yang dimiliki, tanpa prejudice, prakonsepsi, dan sebagainya.

Berdasarkan temuan itu, pemerintah perlu mereformasi hukum dalam arti yang sebenarnya. Reformasi hukum yang memiliki nurani yang sisi-sisinya adalah keadilan. Dengan demikian, kebenaran akan tampak sebagai kebenaran kendati untuk itu pemerintah atau institusi yang lain bisa-bisa kelihatan bahwa selama ini lembaga tersebut belepotan dengan noda, atau bahkan hipokrisi. Noda ini pasti bisa dihapus melalui komitmen pemerintah untuk pembumian keadilan. Masyarakat pun dipastikan akan memaafkannya.

Melalui pembumian teologi keadilan para ranah penegakan hukum dan juga komitmen pemerintah untuk berpihak pada keadilan substantif, penegakan hukum yang bervisi dan berorientasi keadilan substantif diharapkan hadir nyata dalam kehidupan bangsa ini. (*)

*). Prof Dr Abd A'la MA , guru besar dan pembantu rektor I IAIN Sunan Ampel Surabaya
read more

Hukuman Mati di Negara Demokrasi

9:17 AM Posted In 0 Comments »
Hukuman Mati di Negara Demokrasi
Oleh: Triyono Lukmantoro

Antasari Azhar, Wiliardi Wizar, dan Sigit Haryo Wibisono dituntut hukuman mati oleh jaksa dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Ketiganya dinilai menjadi aktor intelektual pembunuhan secara berencana terhadap direktur PT Putra Rajawali Banjaran itu. Tuntutan hukuman mati tersebut mendatangkan kontroversi. Pihak-pihak yang merasakan tersakiti akibat kematian korban pasti menyetujui tuntutan hukuman itu. Sebaliknya, pihak-pihak lain yang tidak setuju dan bahkan menganggap tuntutan tersebut terlalu ambisius dan berlebihan secara otomatis menolaknya.

Persoalannya ialah apakah penerapan hukuman mati pantas dijalankan dalam negara yang menganut demokrasi? Jika demokrasi dipandang sebagai pemerintahan yang dijalankan rakyat, sejauh rakyat masih menyetujui penerapan hukuman itu, dengan sendirinya mencabut nyawa pelaku kejahatan berat atas nama tertib sosial masih harus dijalankan. Sebaliknya, apabila rakyat tidak lagi menyetujui hukuman mati, hukuman itu harus dihentikan dengan becermin pada kehendak rakyat.

Ironisnya, jajak pendapat atau referendum terhadap hukuman mati belum pernah dijalankan. Hukuman mati lebih banyak dibicarakan dan diputuskan kalangan elite politik dan komunitas penegak hukum, misalnya para akademisi yang dianggap memiliki kompetensi pada ranah ilmu hukum, elite politik yang mempunyai klaim mewakili suara rakyat, dan kalangan aparat hukum dari institusi negara. Suara rakyat untuk menentukan hukuman mati menjelma sebagai kekuatan mayoritas yang bisu.

Dalam perspektif filosofis, hukuman mati tidak relevan dilakukan. Pendapat tersebut merujuk pemikiran Michel Foucault (1926-1984) yang menyatakan hukuman sewenang-wenang dalam bentuk penyiksaan dan pembunuhan terhadap tubuh yang dipertontonkan ke hadapan publik (public torture) terjadi dalam masa aristokrasi yang dikendalikan raja. Ketika aristokrasi bergeser pada republik dalam wujud negara, hukuman mati atau hukuman yang langsung menyentuh tubuh para kriminal makin dihilangkan. Negara harus memberikan hak hidup bagi seluruh warganya.

Sudut Pandang Moral

Tapi, mengapa hukuman mati sampai sekarang tetap diterapkan meski negara memiliki klaim politik demokratis? Tidakkah klaim demokratis yang sengaja ditunjukkan itu memuat kontradiksinya sendiri? Pada satu sisi, klaim sebagai negara demokrasi tersebut memberikan pengandaian serta keharusan bagi negara untuk melindungi hak hidup rakyatnya. Tapi, pada saat bersamaan, pencabutan nyawa terhadap pelaku kejahatan berat secara kontinu dijalankan tanpa ampun.

Kontradiksi dalam negara demokrasi itu bisa diredakan dengan menggunakan dua sudut pandang moral. Perspektif moral tersebut bermula dari kalkulasi yang masuk akal, bukan pada persoalan pantas atau tidak pantas, tapi lebih memperhitungkan pada aspek benar atau salah hukuman mati dijalankan. Secara lebih terperinci, kedua aliran moral (etika) yang menyajikan pembenaran bagi hukuman mati adalah:

Pertama, perspektif deontologis sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant (1724-1804). Menurut sudut pandang Kantian, negara demokrasi harus tetap menjalankan hukuman mati di atas pendasaran dan prinsip keadilan. Kewajiban negara adalah melindungi seluruh nyawa warganya. Ketika ada satu pihak (warga) menghilangkan nyawa pihak (warga) lain, merupakan kewajiban negara untuk menyelesaikannya. Jika nyawa yang hilang, penggantinya adalah nyawa juga. Ketika ada warga yang melenyapkan nyawa warga lain, negara harus membalasnya dengan menerapkan hukuman mati.

Secara sekilas pendapat ala Kantian itu melembagakan dan membenarkan cara balas dendam, yakni mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, darah yang tertumpah harus pula diganti dengan darah, dan pada titik puncaknya nyawa pun harus diganti dengan nyawa. Tapi, dalam sudut pandang Kantian, pendapat semacam itu terlalu sederhana. Perspektif Kantian lebih menekankan pada keadilan retributif, yakni keadilan yang berkarakter saling berbalasan. Orang yang bersalah harus dihukum menurut derajat kekeliruan yang dilakukannya. Itu adalah wujud rasional untuk menegaskan prinsip keadilan bagi semua warga tanpa kecuali. Warga yang bersalah karena membunuh, hukuman setimpalnya ialah negara menjalankan pembunuhan terhadap warga yang telah menghilangkan nyawa warga lain.

Kedua, perspektif konsekuensialis atau teleologis. Perpektif etika itu bermula dari kalkulasi utilitarian (kegunaan). Hukuman mati tetap dipilih dan diaplikasikan negara karena memiliki fungsi memberikan efek jera bagi warga lain. Bukan prinsip saling berbalasan jika hukuman mati digulirkan, melainkan lebih pada perhitungan hukuman itu dipandang efektif untuk menegakkan ketertiban sosial. Jadi, seorang warga yang mendapatkan hukuman mati dimaksudkan supaya warga lain tidak mengikuti perilaku serupa itu.

Prinsip dasar yang dipakai perspektif utilitarian adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah yang terbesar (the greatest happines of the the greatest numbers). Apabila hukuman mati bisa mendatangkan kebahagiaan bagi sebagian besar warga, hukuman dalam wujud penghilangan nyawa itu tetap dapat diteruskan. Apalagi, jika dampak hukuman tersebut diarahkan untuk mencegah terjadinya kekacauan sosial. Jumlah terbesar warga yang mendapat kebahagiaan dari penerapan hukuman mati itu dinilai sesuai dengan perhitungan demokrasi yang berkaca pada suara terbanyak warga.

Pantas Dihapus


Melalui dua sudut pandang moral itu, hukuman mati memang layak diterapkan dalam negara demokrasi. Sebab, semua justifikasi yang berkaitan dengan prinsip bagi negara untuk menegakkan keadilan dan memberikan kebahagiaan bagi jumlah warga yang terbesar memang dapat dipenuhi. Tapi, jika ditelaah secara lebih kritis, hukuman mati layak dipertanyakan.

Pertama, bukankah perspektif Kantian terhadap hukuman mati adalah penghalusan balas dendam dengan teknik yang terlihat lebih beradab? Kedua, benarkah perspektif utilitarian bisa dilihat hasilnya karena suara rakyat tentang hukuman mati tidak pernah ditunjukkan melalui jajak pendapat atau referendum? Betulkah pula hukuman mati memberikan efek jera ketika sekian banyak pelaku kejahatan terus bermunculan dengan berkedok jubah agama maupun alasan lain yang bertumpu pada penyimpangan kepribadian?

Dalam negara demokrasi, hukuman mati pantas dihapuskan. Hal itu berhitung pada alasan bahwa negara harus memberikan penghormatan kepada hak hidup setiap warga. Nyawa seorang warga sangat berharga sehingga negara harus menjaminnya. (*)

*). Triyono Lukmantoro, dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
read more

Spekulasi ke Arah Pemakzulan

9:06 AM 0 Comments »
Spekulasi ke Arah Pemakzulan
Oleh: Saldi Isra

Skandal Bank Century benar-benar mengguncang aras politik nasional. Bahkan, dalam beberapa hari terakhir, spekulasi ke arah impeachment (pemakzulan) berembus semakin kencang. Ini terutama setelah dilakukan pertemuan antara sejumlah ketua lembaga tinggi negara dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Bogor.

Apalagi, jauh sebelum diselenggarakan "pertemuan adat" Bogor, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengesahkan peraturan MK mengenai tata cara sidang pemakzulan. Karena itu, banyak kalangan menengarai bahwa pertemuan Bogor merupakan langkah antisipasi Presiden SBY menghadapi hasil Pansus Century mendekati gerbang pemakzulan.

Benarkah hasil Pansus Century dapat berkembang menjadi pemakzulan?

Syarat Konstitusional

Salah satu bentuk purifikasi sistem presidensial yang dihasilkan dalam perubahan UUD 1945 (1999-2002) memperjelas mekanisme pemakzulan presiden/wakil presiden. Sesuai karakter sistem presidensial, meski masa jabatan yang tetap (fix-term), tidak berarti bahwa presiden/wakil presiden tidak bisa diberhentikan di dalam masa jabatannya.

Dalam teori hukum tata negara (constitutional-law theory), pemberhentian di tengah masa jabatan merupakan a legal process of removing an undesirable person from public office (Iwan Satriawan, 2003). Langkah pemakzulan tersebut dapat dikatakan sebagai upaya luar biasa untuk menerobos karakter fix-term dalam sistem presidensial.

Sebagai sebuah langkah extra-ordinary untuk mendakwa pejabat publik (public officials), termasuk presiden/wakil presiden, menurut Jody C. Baumgartner dan Naoko Kada, pemakzulan bukan perkara biasa. Dalam pandangan mereka, pemakzulan dapat dikatakan sebagai political earthqueke dan extra-ordinary political event (Denny Indrayana, 2007). Karena itu, perlu pengaturan sedemikian rupa sehingga presiden dan/atau wakil presiden hanya dapat dimakzulkan jika melanggar hukum yang secara tegas diatur dalam konstitusi.

Pengalaman sebelum perubahan, UUD 1945 tidak membatasi secara jelas bentuk pelanggaran yang dapat bermuara pada tindakan pemakzulan. Presiden/wakil presiden dapat dimakzulkan bila sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan UUD atau MPR. Karena itu, pelaksanaan Sidang Istimewa MPR sangat bergantung pada tafsir pelanggaran haluan negara yang dilakukan presiden. Dengan ketidakjelasan tersebut, penilaian subjektif mayoritas anggota DPR menjadi dominan dalam pengajuan Sidang Istimewa MPR. Penilaian demikian, sesungguhnya, yang mengakhiri kekuasaan Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid.

Untuk menghindari ketidakjelasan tersebut, UUD 1945 hasil perubahan membuat syarat pemakzulan yang jauh lebih jelas dan ketat. Pasal 7a UUD 1945 menyatakan, presiden/wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR dengan alasan: pertama, apabila terbukti telah melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, atau perbuatan tercela. Kedua, apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden.

Tidak Mudah

Membaca persyaratan dalam pasal 7a UUD 1945, skandal Bank Century hanya mungkin bergerak ke arah pemakzulan jika DPR menemukan cukup bukti bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan tindak pidana korupsi dan/atau penyuapan. Kunci untuk menemukan adanya kedua tindak pidana tersebut sepenuhnya berada di tangan Pansus Century.

Secara konstitusional, sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden, ruang yang tersedia dalam pasal 7a UUD 1945 memungkinkan adanya pemakzulan. Gerbang menuju pemakzulan akan semakin dekat jika ada upaya memberi tafsir lebih longgar atau terbuka terhadap pasal 7a UUD 1945. Namun, bagaimanapun, tafsir demikian berpotensi menggagalkan pemakzulan. Sebab, secara konstitusional, asumsi DPR akan dinilai oleh hakim konstitusi dalam sidang MK.

Sebetulnya, kerja pansus tidak sepenuhnya dimulai dari langkah pertama atau titik nol. Setidaknya, merujuk hasil audit invetigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pengelolaan Bank Century penuh dengan rekayasa dan praktik tidak sehat. Meski demikian, Lembaga Penjamin Simpanan tetap mengucurkan dana penyertaan modal ke Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Tidak hanya itu, juga terungkap masih ada aliran dana penyertaan modal sementara (Rp 2,866 triliun) setelah 18 Desember 2008. Padahal, saat itu pemerintah gagal mendapatkan persetujuan DPR terhadap Perppu No 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

Sampai sejauh ini pansus belum menemukan pola dan strategi yang tepat guna membongkar segala bentuk penyimpangan dalam skandal Bank Century. Secara jujur harus diakui, hampir semua kekuatan politik di pansus masih terjebak dalam logika masing-masing. Yang terjadi kemudian, banyak perkembangan di pansus justru memicu polemik.

Selain persoalan substansi, komposisi politik di DPR membuat skandal Bank Century tidak mudah mendekati gerbang pemakzulan. Dalam hal ini, pasal 7b Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa usul pengajuan permintaan DPR ke MK dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya dihadiri dua pertiga anggota DPR. Dari jumlah itu, dua pertiganya harus menyatakan setuju. Jika koalisi pendukung pemerintah solid, dapat dipastikan, kuorum tersebut tidak akan terpenuhi.

Mendekati Pemakzulan

Gerbang menuju pemakzulan akan semakin dekat jika mayoritas partai politik pendukung koalisi meninggalkan koalisi mereka dan bergabung kekuatan politik lain. Melihat perjalanan koalisi sebelumnya, bukan tidak mungkin terjadi perpecahan di partai politik pendukung koalisi. Biasanya, pecah-kongsi koalisi akan semakin cepat terjadi jika publik semakin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah yang berkuasa. Apalagi, dalam sistem presidensial, koalisi lebih rentan perpecahan.

Tanpa kedua kondisi itu, tidak akan ada gerbang menuju pemakzulan. Gerbang itu akan menjadi imajiner jika hasil Pansus Century dijadikan alat bargaining oleh sejumlah elite partai politik dengan cara melakukan tukar-guling skandal Bank Century dengan kasus lain. Jika hal itu yang terjadi, ujung Pansus Century adalah cincai. (*)

*). Saldi Isra, guru besar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND), Padang
read more
Bookmark and Share
KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA //KATAKAN TIDAK PADA NARKOBA