Hukuman Mati di Negara Demokrasi
9:17 AM Posted In Hukum 0 Comments »
Hukuman Mati di Negara Demokrasi
Oleh: Triyono Lukmantoro
Antasari Azhar, Wiliardi Wizar, dan Sigit Haryo Wibisono dituntut hukuman mati oleh jaksa dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Ketiganya dinilai menjadi aktor intelektual pembunuhan secara berencana terhadap direktur PT Putra Rajawali Banjaran itu. Tuntutan hukuman mati tersebut mendatangkan kontroversi. Pihak-pihak yang merasakan tersakiti akibat kematian korban pasti menyetujui tuntutan hukuman itu. Sebaliknya, pihak-pihak lain yang tidak setuju dan bahkan menganggap tuntutan tersebut terlalu ambisius dan berlebihan secara otomatis menolaknya.
Persoalannya ialah apakah penerapan hukuman mati pantas dijalankan dalam negara yang menganut demokrasi? Jika demokrasi dipandang sebagai pemerintahan yang dijalankan rakyat, sejauh rakyat masih menyetujui penerapan hukuman itu, dengan sendirinya mencabut nyawa pelaku kejahatan berat atas nama tertib sosial masih harus dijalankan. Sebaliknya, apabila rakyat tidak lagi menyetujui hukuman mati, hukuman itu harus dihentikan dengan becermin pada kehendak rakyat.
Ironisnya, jajak pendapat atau referendum terhadap hukuman mati belum pernah dijalankan. Hukuman mati lebih banyak dibicarakan dan diputuskan kalangan elite politik dan komunitas penegak hukum, misalnya para akademisi yang dianggap memiliki kompetensi pada ranah ilmu hukum, elite politik yang mempunyai klaim mewakili suara rakyat, dan kalangan aparat hukum dari institusi negara. Suara rakyat untuk menentukan hukuman mati menjelma sebagai kekuatan mayoritas yang bisu.
Dalam perspektif filosofis, hukuman mati tidak relevan dilakukan. Pendapat tersebut merujuk pemikiran Michel Foucault (1926-1984) yang menyatakan hukuman sewenang-wenang dalam bentuk penyiksaan dan pembunuhan terhadap tubuh yang dipertontonkan ke hadapan publik (public torture) terjadi dalam masa aristokrasi yang dikendalikan raja. Ketika aristokrasi bergeser pada republik dalam wujud negara, hukuman mati atau hukuman yang langsung menyentuh tubuh para kriminal makin dihilangkan. Negara harus memberikan hak hidup bagi seluruh warganya.
Sudut Pandang Moral
Tapi, mengapa hukuman mati sampai sekarang tetap diterapkan meski negara memiliki klaim politik demokratis? Tidakkah klaim demokratis yang sengaja ditunjukkan itu memuat kontradiksinya sendiri? Pada satu sisi, klaim sebagai negara demokrasi tersebut memberikan pengandaian serta keharusan bagi negara untuk melindungi hak hidup rakyatnya. Tapi, pada saat bersamaan, pencabutan nyawa terhadap pelaku kejahatan berat secara kontinu dijalankan tanpa ampun.
Kontradiksi dalam negara demokrasi itu bisa diredakan dengan menggunakan dua sudut pandang moral. Perspektif moral tersebut bermula dari kalkulasi yang masuk akal, bukan pada persoalan pantas atau tidak pantas, tapi lebih memperhitungkan pada aspek benar atau salah hukuman mati dijalankan. Secara lebih terperinci, kedua aliran moral (etika) yang menyajikan pembenaran bagi hukuman mati adalah:
Pertama, perspektif deontologis sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant (1724-1804). Menurut sudut pandang Kantian, negara demokrasi harus tetap menjalankan hukuman mati di atas pendasaran dan prinsip keadilan. Kewajiban negara adalah melindungi seluruh nyawa warganya. Ketika ada satu pihak (warga) menghilangkan nyawa pihak (warga) lain, merupakan kewajiban negara untuk menyelesaikannya. Jika nyawa yang hilang, penggantinya adalah nyawa juga. Ketika ada warga yang melenyapkan nyawa warga lain, negara harus membalasnya dengan menerapkan hukuman mati.
Secara sekilas pendapat ala Kantian itu melembagakan dan membenarkan cara balas dendam, yakni mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, darah yang tertumpah harus pula diganti dengan darah, dan pada titik puncaknya nyawa pun harus diganti dengan nyawa. Tapi, dalam sudut pandang Kantian, pendapat semacam itu terlalu sederhana. Perspektif Kantian lebih menekankan pada keadilan retributif, yakni keadilan yang berkarakter saling berbalasan. Orang yang bersalah harus dihukum menurut derajat kekeliruan yang dilakukannya. Itu adalah wujud rasional untuk menegaskan prinsip keadilan bagi semua warga tanpa kecuali. Warga yang bersalah karena membunuh, hukuman setimpalnya ialah negara menjalankan pembunuhan terhadap warga yang telah menghilangkan nyawa warga lain.
Kedua, perspektif konsekuensialis atau teleologis. Perpektif etika itu bermula dari kalkulasi utilitarian (kegunaan). Hukuman mati tetap dipilih dan diaplikasikan negara karena memiliki fungsi memberikan efek jera bagi warga lain. Bukan prinsip saling berbalasan jika hukuman mati digulirkan, melainkan lebih pada perhitungan hukuman itu dipandang efektif untuk menegakkan ketertiban sosial. Jadi, seorang warga yang mendapatkan hukuman mati dimaksudkan supaya warga lain tidak mengikuti perilaku serupa itu.
Prinsip dasar yang dipakai perspektif utilitarian adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah yang terbesar (the greatest happines of the the greatest numbers). Apabila hukuman mati bisa mendatangkan kebahagiaan bagi sebagian besar warga, hukuman dalam wujud penghilangan nyawa itu tetap dapat diteruskan. Apalagi, jika dampak hukuman tersebut diarahkan untuk mencegah terjadinya kekacauan sosial. Jumlah terbesar warga yang mendapat kebahagiaan dari penerapan hukuman mati itu dinilai sesuai dengan perhitungan demokrasi yang berkaca pada suara terbanyak warga.
Pantas Dihapus
Melalui dua sudut pandang moral itu, hukuman mati memang layak diterapkan dalam negara demokrasi. Sebab, semua justifikasi yang berkaitan dengan prinsip bagi negara untuk menegakkan keadilan dan memberikan kebahagiaan bagi jumlah warga yang terbesar memang dapat dipenuhi. Tapi, jika ditelaah secara lebih kritis, hukuman mati layak dipertanyakan.
Pertama, bukankah perspektif Kantian terhadap hukuman mati adalah penghalusan balas dendam dengan teknik yang terlihat lebih beradab? Kedua, benarkah perspektif utilitarian bisa dilihat hasilnya karena suara rakyat tentang hukuman mati tidak pernah ditunjukkan melalui jajak pendapat atau referendum? Betulkah pula hukuman mati memberikan efek jera ketika sekian banyak pelaku kejahatan terus bermunculan dengan berkedok jubah agama maupun alasan lain yang bertumpu pada penyimpangan kepribadian?
Dalam negara demokrasi, hukuman mati pantas dihapuskan. Hal itu berhitung pada alasan bahwa negara harus memberikan penghormatan kepada hak hidup setiap warga. Nyawa seorang warga sangat berharga sehingga negara harus menjaminnya. (*)
*). Triyono Lukmantoro, dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
Oleh: Triyono Lukmantoro
Antasari Azhar, Wiliardi Wizar, dan Sigit Haryo Wibisono dituntut hukuman mati oleh jaksa dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Ketiganya dinilai menjadi aktor intelektual pembunuhan secara berencana terhadap direktur PT Putra Rajawali Banjaran itu. Tuntutan hukuman mati tersebut mendatangkan kontroversi. Pihak-pihak yang merasakan tersakiti akibat kematian korban pasti menyetujui tuntutan hukuman itu. Sebaliknya, pihak-pihak lain yang tidak setuju dan bahkan menganggap tuntutan tersebut terlalu ambisius dan berlebihan secara otomatis menolaknya.
Persoalannya ialah apakah penerapan hukuman mati pantas dijalankan dalam negara yang menganut demokrasi? Jika demokrasi dipandang sebagai pemerintahan yang dijalankan rakyat, sejauh rakyat masih menyetujui penerapan hukuman itu, dengan sendirinya mencabut nyawa pelaku kejahatan berat atas nama tertib sosial masih harus dijalankan. Sebaliknya, apabila rakyat tidak lagi menyetujui hukuman mati, hukuman itu harus dihentikan dengan becermin pada kehendak rakyat.
Ironisnya, jajak pendapat atau referendum terhadap hukuman mati belum pernah dijalankan. Hukuman mati lebih banyak dibicarakan dan diputuskan kalangan elite politik dan komunitas penegak hukum, misalnya para akademisi yang dianggap memiliki kompetensi pada ranah ilmu hukum, elite politik yang mempunyai klaim mewakili suara rakyat, dan kalangan aparat hukum dari institusi negara. Suara rakyat untuk menentukan hukuman mati menjelma sebagai kekuatan mayoritas yang bisu.
Dalam perspektif filosofis, hukuman mati tidak relevan dilakukan. Pendapat tersebut merujuk pemikiran Michel Foucault (1926-1984) yang menyatakan hukuman sewenang-wenang dalam bentuk penyiksaan dan pembunuhan terhadap tubuh yang dipertontonkan ke hadapan publik (public torture) terjadi dalam masa aristokrasi yang dikendalikan raja. Ketika aristokrasi bergeser pada republik dalam wujud negara, hukuman mati atau hukuman yang langsung menyentuh tubuh para kriminal makin dihilangkan. Negara harus memberikan hak hidup bagi seluruh warganya.
Sudut Pandang Moral
Tapi, mengapa hukuman mati sampai sekarang tetap diterapkan meski negara memiliki klaim politik demokratis? Tidakkah klaim demokratis yang sengaja ditunjukkan itu memuat kontradiksinya sendiri? Pada satu sisi, klaim sebagai negara demokrasi tersebut memberikan pengandaian serta keharusan bagi negara untuk melindungi hak hidup rakyatnya. Tapi, pada saat bersamaan, pencabutan nyawa terhadap pelaku kejahatan berat secara kontinu dijalankan tanpa ampun.
Kontradiksi dalam negara demokrasi itu bisa diredakan dengan menggunakan dua sudut pandang moral. Perspektif moral tersebut bermula dari kalkulasi yang masuk akal, bukan pada persoalan pantas atau tidak pantas, tapi lebih memperhitungkan pada aspek benar atau salah hukuman mati dijalankan. Secara lebih terperinci, kedua aliran moral (etika) yang menyajikan pembenaran bagi hukuman mati adalah:
Pertama, perspektif deontologis sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant (1724-1804). Menurut sudut pandang Kantian, negara demokrasi harus tetap menjalankan hukuman mati di atas pendasaran dan prinsip keadilan. Kewajiban negara adalah melindungi seluruh nyawa warganya. Ketika ada satu pihak (warga) menghilangkan nyawa pihak (warga) lain, merupakan kewajiban negara untuk menyelesaikannya. Jika nyawa yang hilang, penggantinya adalah nyawa juga. Ketika ada warga yang melenyapkan nyawa warga lain, negara harus membalasnya dengan menerapkan hukuman mati.
Secara sekilas pendapat ala Kantian itu melembagakan dan membenarkan cara balas dendam, yakni mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, darah yang tertumpah harus pula diganti dengan darah, dan pada titik puncaknya nyawa pun harus diganti dengan nyawa. Tapi, dalam sudut pandang Kantian, pendapat semacam itu terlalu sederhana. Perspektif Kantian lebih menekankan pada keadilan retributif, yakni keadilan yang berkarakter saling berbalasan. Orang yang bersalah harus dihukum menurut derajat kekeliruan yang dilakukannya. Itu adalah wujud rasional untuk menegaskan prinsip keadilan bagi semua warga tanpa kecuali. Warga yang bersalah karena membunuh, hukuman setimpalnya ialah negara menjalankan pembunuhan terhadap warga yang telah menghilangkan nyawa warga lain.
Kedua, perspektif konsekuensialis atau teleologis. Perpektif etika itu bermula dari kalkulasi utilitarian (kegunaan). Hukuman mati tetap dipilih dan diaplikasikan negara karena memiliki fungsi memberikan efek jera bagi warga lain. Bukan prinsip saling berbalasan jika hukuman mati digulirkan, melainkan lebih pada perhitungan hukuman itu dipandang efektif untuk menegakkan ketertiban sosial. Jadi, seorang warga yang mendapatkan hukuman mati dimaksudkan supaya warga lain tidak mengikuti perilaku serupa itu.
Prinsip dasar yang dipakai perspektif utilitarian adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah yang terbesar (the greatest happines of the the greatest numbers). Apabila hukuman mati bisa mendatangkan kebahagiaan bagi sebagian besar warga, hukuman dalam wujud penghilangan nyawa itu tetap dapat diteruskan. Apalagi, jika dampak hukuman tersebut diarahkan untuk mencegah terjadinya kekacauan sosial. Jumlah terbesar warga yang mendapat kebahagiaan dari penerapan hukuman mati itu dinilai sesuai dengan perhitungan demokrasi yang berkaca pada suara terbanyak warga.
Pantas Dihapus
Melalui dua sudut pandang moral itu, hukuman mati memang layak diterapkan dalam negara demokrasi. Sebab, semua justifikasi yang berkaitan dengan prinsip bagi negara untuk menegakkan keadilan dan memberikan kebahagiaan bagi jumlah warga yang terbesar memang dapat dipenuhi. Tapi, jika ditelaah secara lebih kritis, hukuman mati layak dipertanyakan.
Pertama, bukankah perspektif Kantian terhadap hukuman mati adalah penghalusan balas dendam dengan teknik yang terlihat lebih beradab? Kedua, benarkah perspektif utilitarian bisa dilihat hasilnya karena suara rakyat tentang hukuman mati tidak pernah ditunjukkan melalui jajak pendapat atau referendum? Betulkah pula hukuman mati memberikan efek jera ketika sekian banyak pelaku kejahatan terus bermunculan dengan berkedok jubah agama maupun alasan lain yang bertumpu pada penyimpangan kepribadian?
Dalam negara demokrasi, hukuman mati pantas dihapuskan. Hal itu berhitung pada alasan bahwa negara harus memberikan penghormatan kepada hak hidup setiap warga. Nyawa seorang warga sangat berharga sehingga negara harus menjaminnya. (*)
*). Triyono Lukmantoro, dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
0 komentar:
Posting Komentar